Selasa, 28 Mei 2013

"Tokoh yang Menginspirasi"

Siti Aisyah memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu. Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.

Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.

Dari perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.
Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di setiap kesempatan.

SITI AISYAH SELALU MENJAGA KEHORMATAN DAN TIDAK SUKA DISANJUNG

Aisyah memiliki pribadi yang terhormat dan senantiasa menjaga kehormatan yang dimilikinya, baik di hadapan manusia, lebih-lebih di hadapan Allah. Ia tidak ingin menjerumuskan dirinya dalam kehinaan akhlak dan kenistaan nafsu. Ia merasa cukup dengan rezeki yang sedikit dan tidak pernah mengeluh serta meminta-minta, sebagaimana sifat luhur ayahnya, Abu Bakar.

Selain menjaga kehormatan diri sendiri, Siti Aisyah juga sangat menghormati orang lain. Salah satu sifatnya adalah tidak mau membicarakan kejelekan orang lain. Ribuan riwayat dari Aisyah tak satu pun dari riwayat itu berisikan pelecehan atau penghinaan terhadap seseorang. Adapun perselisihan antar istri Rasulullah dan cekcok mulut di antara mereka merupakan sifat dan karakteristik alami seorang perempuan. Namun, bagaimana Aisyah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan masing-masing madunya dengan lapang dada dan luas hati, disertai dengan perkataan yang terpuji.

Di sisi lain, Aisyah sangat membenci dipuji atau disanjung saat hadir di depan khalayak. Sebuah sikap yang berbalik 180 derajat dengan kebanyakan para tokoh dan public figure pada zaman sekarang, yang justru mereka suka dengan sanjungan dan menjadikan sanjungan kepada para tokoh dan figur (pejabat) sebagai bagian dari keharusan protokoler. Yang disanjung memang mengharapkan hal itu, dan yang menyanjung ingin mencari muka di hadapan para khalayak yang hadir, terutama di hadapan tokoh yang disanjung itu sendiri.

Demikianlah kenyataan dari fenomena kehidupan sosial modern pada zaman sekarang.
Maka dapat dipahami bahwa Aisyah memang berasal dari keluarga yang terhormat, ditambah lagi dengan pendidikan langsung dari Rasulullah yang menyebabkan dirinya menjadi terhormat. Selain ia selalu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, ia juga selalu menjaga kehormatan orang lain.
Aisyah juga benci dipuji. Sesungguhnya, memuji dan dipuji bukanlah hal yang dilarang, bahkan hal itu bisa menjadi kebaikan dan dianjurkan, asalkan disampaikan dengan tulus, tidak ada rekayasa dan niat riya’ dihati pemujinya. Dan bagi orang yang dipujinya, ia tidak semata-mata mengharapkan munculnya pujian itu, serta pujian tersebut tidak menjadikan dirinya sombong. Aisyah menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan dirinya sombong atau tinggi hati.

Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Aisyah menemui beliau.
Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Siti Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.
Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah.
Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.
Dalam hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.

thankss..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar